JURAGANQQ - Kisah Misteri Dibalik Meninggalnya Tiga Presiden Indonesia
Indonesia telah kehilangan tiga putra terbaiknya yang
sebelumnya menjabat sebagai presiden Indonesia. Berbagai cerita menarik, unik
dan menyedihkan mengiringi kepergian putra terbaik bangsa itu. Bangsa ini akan
terus mengenang hal positif dan terus melanjutkan langkah besar para pemimpin
negeri itu.
Inilah Kisah Dibalik Meninggalnya Tiga Presiden Indonesia
Soekarno
Ir.Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode
1945–1966.Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda.Soekarno adalah penggali Pancasila karena ia yang pertama
kali mencetuskan konsep mengenai dasar negara Indonesia itu dan ia sendiri yang
menamainya Pancasila. Soekarno lahir di Surabaya Jawa Timur, 6 Juni 1901 –
meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965.Sebelumnya, ia
telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di
Wina, Austria tahun 1961 dan 1964.Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas
Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat
tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional.Ia masih bertahan
selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di
RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status
sebagai tahanan politik.
Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh
Ratna Sari Dewi.Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno
sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter
kepresidenan.Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang
ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor
Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati.
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:
Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan
kesehatan Ir. Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam
keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan
kritis Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di
Istana Batu Tulis, Bogor, namun pemerintahan Presiden Soeharto memilih Kota
Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno.Hal tersebut ditetapkan
lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970.Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar sehari
setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan makam
ibunya.Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M.
Panggabean sebagai inspektur upacara.Pemerintah kemudian menetapkan masa
berkabung selama tujuh hari.
Meninggalnya sang proklamator kemerdekaan Indonesia sampai sekarang menyisakan
misteri. Perawatan penyakit, masalah pemakaman dan pembatasan keluarga Soekarno
sampai sekarang menjadi cerita yang tidak pernah selesai dan menjadi
kontroversi dan misteri
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965. Sebelumnya, ia
telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di
Wina, Austria tahun 1961 dan 1964. Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas
Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat
tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional. Ia masih
bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni
1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan
status sebagai tahanan politik.Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke
Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi. Sebelum dinyatakan wafat,
pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono
yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan. Tidak lama kemudian
dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar
Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati.
Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping, dokter yang
pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan bahwa Soekarno hanya
mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di pembuluh darah otak saat
diberitakan sakit pada awal Agustus 1965, dan sama sekali tidak mengalami koma
seperti isu yang beredar. Ini menepis spekulasi bahwa Soekarno tidak akan mampu
menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1965.
Dan nyatanya, Soekarno tetap hadir pada peringatan detik-detik proklamasi 17
Agustus itu di Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.
Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu
berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis
rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman
juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.
Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan,
mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya
di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.
Derik-detik menjelang kematian Soekarno dimula ketika di dalam ruang perawatan
yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek
lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur.
Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan
mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara
semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya. Lelaki yang pernah amat jantan
dan berwibawa—dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad,
sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya.
Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun
telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan
permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan
pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering.
Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu
sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya
yang kian kurus.
Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi
ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka
matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan
didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini. “Pak, Pak, ini Ega…”
Senyap.
Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno
yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan
sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran
Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah
ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah
untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.
Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari
tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi
hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan
limbung. Mega segera dipapah keluar. Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar,
sepasukan tentara terus berjaga.lengkap dengan senjata. Malam harinya ketahanan
tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter
segera memberikan bantuan seperlunya.
Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi
kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan
Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil
dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak.
terperi, Soekarno berkata lemah. “Hatta.., kau di sini..?” Yang disapa tidak
bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui
jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik
hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum
menghibur. “Ya, bagaimana keadaanmu, No?”
Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya
memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin
memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini. Bibir Soekarno
bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa
Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka. masih bersatu
dalam Dwi Tunggal. “Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu? Hatta
memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno. Soekarno
kemudian terisak bagai anak kecil. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan
seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu
mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta
ikut menangis. Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan
tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang
sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa
kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya
bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani. “No…” Hanya itu yang bisa
terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar
menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya. terguncang-guncang. Jauh di
lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa
bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak
bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian
erat dan tulus. Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini
kembali memejamkan matanya. Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi
angka.
Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus
merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu.
badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan
piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun,
Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.
Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter.
kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang.
paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai
seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama
lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi
Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan
kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian
tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu
terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua
matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak
lagi. Kini untuk selamanya.
Soeharto
Jend.
Besar TNI Purn. Haji Muhammad Soeharto, adalah Presiden Indonesia yang kedua
(1967-1998), menggantikan Soekarno. Di dunia internasional, terutama di Dunia
Barat, Soeharto sering dirujuk dengan sebutan populer “The Smiling General”
karena raut mukanya yang selalu tersenyum di muka pers dalam setiap acara resmi
kenegaraan. Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu,
Bantul, Yogyakarta, 8 Juni 1921 dan meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008
pada umur 86 tahun. Usaha untuk mengadili Soeharto gagal karena kesehatannya
yang memburuk. Setelah menderita sakit berkepanjangan, ia meninggal karena
kegagalan organ multifungsi di Jakarta pada tanggal 27 Januari 2008.
Di tengah upaya membela diri berkaitan dengan kasus penyalahgunaan kekuasaan,
Soeharto terkena serangan stroke ringan dan dirawat selama sepuluh hari di
Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta pada 20 Juni 1999. Pada 14 Agustus
1999, Soeharto dirawat untuk kedua kalinya di RSPP selama lima hari, karena
pendarahan pasa usus. Pada 7 Mei 2006, Soeharto kembali masuk RSPP dan
menjalani operasi pembedahan untuk menghentikan pendarahan pada saluran cerna
oleh tim dokter terpadu. Soeharto kembali dirawat di RSPP karena kadar
hemoglobin rendah, tekanan darah turun, dan ada penimbunan cairan sehingga
tubuhnya membengkak. Setelah dirawat 245 hari sejak 4 Januari 2008, Soeharto
meninggal dunia pada 27 Januari 2008 akibat kegagalan multi-organ.
Minggu, 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB, 27 Januari 2008 di hari ke-24 dirawat
di RSPP (Jakarta), mantan Presiden Soeharto dipanggil Sang Khalik. Kepastian
kabar wafatnya Soeharto bukan disampaikan oleh keluarga, pengacara, dokter,
atau pejabat negara. Kabar itu disampaikan langsung dan pertama kali kepada
wartawan oleh Kepala Kepolisian Sektor Kebayoran Baru Komisaris Dicky Sondanidi
depan lobi utama RSPP sepuluh menit setelah Soeharto wafat.
Keterangan resmi Soeharto meninggal baru disampaikan Siti Hardiyanti Hastuti
Indra Rukmana (Tutut) bersama dua adiknya dan Tim Dokter Kepresidenan pada
pukul 13.45 WIB pada hari Minggu tanggal 27 Januari 2008. Suasana di RSPP pada
akhir pecan itu sepi. Wartawan yang meliput berita tentang mantan orang kuat di
Indonesia itu pun tidak banyak. Sejak dinyatakan Soeharto dalam keadaan kritis,
wartawan mulai berdatangan. Di sekitar lobi utama RSPP suasana berubah tegang
ketika lima tentara lewat di antara tempat parkir mobil. Semua kameramen
televise langsung bergerak ke depan rumah sakit.
Komisaris Dicky Sondani yang datang ke RSPP sekitar pukul 12.30 WIB terlihat
mondar-mandir. Sebentar masuk ke dalam rumah sakit, kemudian keluar lagi.
Awalnya, puluhan wartawan yang berjaga tidak menghiraukan kehadiran Kapolres
Kebayoran Baru, Jakarta tersebut. Para wartawan menganggap bahwa Dicky sedang
berjaga-jaga untuk menanti kehadiran pejabat negara. Rasa penasaran wartawan
memuncak saat polisi dan tentara semakin banyak yang datang dan Dicky masih
mondar-mandir. Ketika Dicky keluar lobi utama, dia berdiri pas di depan pintu,
wartawan sepakat bertanya ada apa dengan pengamanan yang ketat itu. Dicky
berada di tengah kerumunan wartawan dan kamera televise mengarah ke wajahnya.
Tepat pukul 13.20 WIB, Dicky mengatakan,” Telah berpulang ke Rahmatullah, Haji
Muhammad Soeharto pukul 13.10 WIB. Rencanya akan dibawa ke Cendana, tetapi
belum tahu pukul berapa.” Berulang kali Dicky harus mengulang kalimat itu
karena banyak kameramen dan reporter radio yang belum merekam suaranya. Bahkan,
ada yang meminta Dicky bersuara hanya untuk mengatakan jam berapa Soeharto
meninggal. Semua orang membutuhkan suara Dicky yang menjadi pemberi informasi
pertama untuk publik.
Warga yang ingin berbelasungkawa diizinkan memasuki kediaman keluarga Soeharto
pada malamnya. Warga boleh masuk secara berombongan, sekitar 20 orang untuk
setiap rombongan. Warga pun memanfaatkan kesempatan itu. Soeharto meninggalkan
wasiat kepada keluarga agar dimakamkan di sisi almarhumah Ny Tien Soeharto di
Kompleks Astana Giribangun, Solo, Jawa Tengah, sebelum dzuhur, sekitar pukul
12.00 WIB. Jenasah Soeharto diserahkan oleh pihak keluarga yang diwakili Tutut
kepada pemerintah pada Senin, 28 Januari 2008 pagi untuk selanjutnya
diberangkatkan ke Solo, Jawa Tengah.
Nun di ketinggian 666 meter di atas permukaan laut, Soeharto mendirikan istana
terakhirnya. Istana itu bernama Astana Giribangun. Inilah sebuah kompleks makam
termuda leluhur dinasti Mataram Imogiri, Yogyakarta. Astana Giribangun terletak
di lereng barat Gunung Lawu, persisnya di Kelurahan Karangbangun, Kecamatan
Matesih, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Kira-kiranya jaraknya 40 kilometer
dari Kota Solo. Giribangun berdampingan dengan Gunung Mangadeg yang memiliki
ketinggian 750 meter di atas permukaan laut.
Mengutip buku Panduan Berziarah Astana Giribangun koleksi Perpustakaan Rekso
Pustoko Puro Mangkunegaran (Solo), usia Astana Giribangun sebagai salah satu
makam leluhur keluarga besar Mangkunegaran adalah kompleks makam termuda
dibandingkan kompleks makam lain. Urutannya adalah Makam Mangkunegaran
Kartasura di Imogiri Bantul (Yogyakarta), Astana Mangadeg Astana Girilayu,
Astana Oetara, Astana Giri, Astana Kablokan, Pesarean Mantenan, Pesarean
Karangtengah, Pesarean Randusongo, Pesarean Temuireng, Pesarean Ngendo Kerten,
dan Astana Giribangun.
Di belakang atau di sebelah setalan bukit Giribangun mengalir Kali Samin. Di
depan pintu kompleks Makam Giribangun yang selalu tertutup terdapat dua pohon
jambu mawar yang masing-masing berada di kanan-kiri pintu. Ini memang sebuah
tempat yang teduh dan nyaman. Fasilitas kompleks makam juga lengkap, seperti
pelereman atau bangunan khusus untuk menginap keluarga Soeharto dan masjid.
Pengurus dan pegawai Astana Giribangun juga secara berdedikasi memeliharanya.
Kayu jati masih tampak mengkilap, sesekali dipelitur. Makam rajin dipoles,
bunga peziarah selalu dibersihkan setiap pagi, dan karpet pun dicuci setiap
minggu. Semua siap di makam yang dibangun oleh 700 pekerja tanpa penggunakan
traktor dan alat berat lainnya itu. Makam yang terletak sekitar 35 kilometer
dari Solo itu dapat ditempuh dalam waktu sekitar satu jam karena jalan menuju
kompleks makam dari Matesih sangat lancar.
Astana Giribangun dibangun oleh Yayasan Mangadeg, sebuah yayasan yang bertujuan
membangun dan memperbaiki makam-makam leluhur seperti makam Pangeran
Sambernyawa. Soeharto dan Hartinah (Tien Soeharto) masuk sebagai pendiri
yayasan yang berdiri pada 28 Oktober 1969 tersebut.
Makam yang dibangun di atas bukit Giribangun diresmikan pada Jumat Wage, 23
Juli 1976. Acara tersebut ditandai dengan dipindahkannya kerangka jenazah ayah
dan ibu Hartinah, KRMTH Soemoharjomo dan KRA Soeharjomo. Karena kompleks makam
Astana Mangadeg semakin penuh, pada 27 November 1974, pembangunan Astana
Giribangun dimulai. Waktu itu, Gunung Bangun dipotong sekitar 22 meter agar
ketinggiannya tidak melebihi Astana Mangadeg. Upacara peresmiannya dilakukan
pada 23 Juli 1976.
Bangunan utama makam terdiri atas bagian yang ditandai dengan trap-trap. Bagian
pelataran bawah disebut Cungkup Argotuwuh. Siapa pun yang masuk ke area ini
harus melepaskan alas kaki. Anggota keluarga Yayasan Mangadeg dapat dimakamkan
di area seluas 700 meter persegi ini. Trap selanjutnya adalah Argokembang
dengan luas 600 meter persegi. Yang paling puncak adalah Argosari seluar 300
meter persegi.
Di Argosari inilah terletak makam utama keluarga Soeharto, yaitu di ruangan 80
meter persegi dikelilingi gebyok ukiran. Terletak di tingkat teratas dari makam
dengan kapasitas 65 badan. Terdiri dari Cungkup Argosari dalam dinding gebyok
lima badan, emper Cungkup Argosasi 12 badan, dan selasar Cungkup Argosari 45
badan. Karpet empuk cokelat muda terhampar di rungan ini. Seluruh bangunan
didominasi kayu jati; dari kayu untuk atap hingga tiang penyangga.
Pada bangunan utama terdapat empat makam yang sudah lama terisi dan satu petak
yang sengaja dikosongkan. Berurutan dari ujung timur terdapat makam kakak
tertua Hartinah, Siti Hartini Oudang, kemudian ayah dan ibu Harinah. Di ujung
paling barat ada makam Hartinah. Di antara makam itulah, makam Soeharto berada.
Emper Cungkup Argosari direncanakan dipergunakan bagi putra-putri dan menantu,
yakni enam pasang badan atau 12 badan. Selasar Cungkup Argosari dicadangkan
untuk pengurus Yayasan Mangadeg, yaitu penasihat 10 badan, pengurus harian 14
badan, anggota pengurus/komisaris 14 badan, direksi, dan komisaris 10 badan.
Untuk makam tingkat kedua, yakni Argokembang diperuntukkan bagi para anggota
pengurus pleno dan seksi Yayasan Mangadeg dan bukan anggota Yayasan Mangadeg
yang oleh pengurus yayasan dianggap banyak memberikan jasa-jasa kepada yayasan.
Argokembang berkapasitas 58 pasang atau 116 badan. Tingkat terakhir adalah
Argotuwuh. Tingkat ini diperuntukkan bagi para pengurus pleno dan anggota seksi
yayasan. Di samping itu, untuk keluarga besar Yayasan Mangadeg, bukan anggota
pengurus yayasan yang dianggap banyak memberikan jasa-jasa kepada yayasan.
Akomodasi ini berkapasitas 78 pasang atau 156 calon badan.
Kemudian sekitar pukul 14.35, jenazah mantan Presiden Soeharto diberangkatkan
dari RSPP menuju kediaman di Jalan Cendana nomor 8, Menteng, Jakarta. Ambulan
yang mengusung jenazah Pak Harto diiringi sejumlah kendaraan keluarga dan
kerabat serta pengawal. Sejumlah wartawan merangsek mendekat ketika
iring-iringan kendaraan itu bergerak menuju Jalan Cendana, mengakibatkan
seorang wartawati televisi tertabrak.
Di sepanjang jalan Tanjung dan Jalan Cendana ribuan masyarakat menyambut
kedatangan iringan kendaraan yang membawa jenazah Pak Harto. Rangkaian
kendaraan yang membawa jenazah mantan Presiden Soeharto memasuki Jalan Cendana,
sekitar pukul 14.55, Minggu (27/1).
Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan
beberapa menteri yang tengah mengikuti rapat kabinet terbatas tentang ketahanan
pangan, menyempatkan mengadakan jumpa pers selama 3 menit dan 28 detik di
Kantor Presiden, Jakarta, Minggu (27/1). Presiden menyampaikan belasungkawa
yang mendalam atas wafatnya mantan Presiden RI Kedua Haji Muhammad Soeharto.
Minggu Sore pukul 16.00 WIB, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla, lebih dulu melayat ke Cendana.
Jenazah mantan presiden Soeharto diberangkatkan dari rumah duka di Jalan
Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 07.30 WIBmenuju Bandara Halim
Perdanakusuma. Selanjutnya jenazah akan diterbangkan dari Bandara Halim
Perdanakusuma ke Solo pukul 10.00 WIB untuk kemudian dimakamkan di Astana Giri
Bangun, Solo, Senin (28/1). Jenazah tiba di Astana Giri Bangun siang itu
sebelum pukul 12.00 WIB. Almarhum diturunkan ke liang lahat pada pukul 12.15
WIBbersamaan dengan berkumandangnya adzan dzuhur. Almarhum sudah berada di
liang lahat siang itu pukul 12.17 WIB. Upacara pemakaman Soeharto tersebut
dipimpin oleh inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Abdurahman Wahid
Kiai
Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur adalah tokoh Muslim Indonesia
dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun
1999 hingga 2001. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketuaTanfidziyah(badan
eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Gus Dur
lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dan meninggal di Jakarta, 30
Desember 2009 pada umur 69 tahun
Gus Dur menderita banyak penyakit, bahkan sejak ia mulai menjabat sebagai
presiden. Ia menderita gangguan penglihatan sehingga seringkali surat dan buku
yang harus dibaca atau ditulisnya harus dibacakan atau dituliskan oleh orang
lain. Beberapa kali ia mengalami serangan stroke. Diabetes dan gangguan ginjal
juga dideritanya.
Gus Durmeninggal dunia pada hari Rabu, 30 Desember 2009, di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, pada pukul 18.45 akibat berbagai komplikasi penyakit
tersebut, yang dideritanya sejak lama. Sebelum wafat ia harus menjalani
hemodialisis (cuci darah) rutin. Gus Dur wafat akibat sumbatan pada
arteri.Seminggu sebelum dipindahkan ke Jakarta ia sempat dirawat di Jombang
seusai mengadakan perjalanan di Jawa Timur.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, pukul 18.45 WIB, sebelumnya
kesehatan mantan Presiden Abdurrahman Wahid merosot pada pukul 11.00 WIB.
Dokter Aris Wibudi dari Tim Dokter Kepresidenan kepada wartawan di RSCM, Rabu
30 Desember 2009 menuturkan kronologi detik-detik terakhir wafatnya Gus Dur.
Sabtu 26 Desember 2009, kesehatan menurun, namun kondisinya sempat membaik Rabu
30 Desember 2009 pukul 11.00 WIB, kondisinya memburuk akibat komplikasi
penyakit diabetes dan ginjal. Setelah dilakukan pengobatan intensif, kondisinya
tetap memburuk. Pukul 18.15 WIB, Gus Dur kritis dan pukul 18.45 WIB, Gus Dur
dinyatakan wafat. Gus Dur meninggal dunia di depan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tiba di RSCM sekitar pukul 18.00 WIB.
Setelah sekitar satu jam berada di dalam ruangan tempat Gus Dur dirawat, SBY
keluar.
Gus Dur memang selalu punya cerita unik dan menarik sampai akhir hayatnya.
Sebelum meninggal pukul 18.45 WIB, Gus Dur sempat bercerita kepada salah satu
orang dekatnya soal pengalaman spiritual yang dialami. Menurut Gus Dur, saat
berziarah ke makam kakeknya KH Hasyim Asy’ari di Tebu Ireng, Jombang, Gus Dur
sempat bertemu dan berkomunikasi dengan Mbah Hasyim. Gus Dur bercerita saat
ziarah ke makam Mbah Hasyim, Gus Dur ditemui Mbah Hasyim. Gus Dur bercerita
soal pengalamannya dengan tenang dan senang wajahnya. Menurut orang yang selalu
menemani Gus Dur ini, dalam percakapannya dengan Mbah Hasyim, Gus Dur mengaku
dikasihani. Gus Dur pun hanya tersenyum saat dibilangi kakeknya tersebut. Gus
Dur bilang, Mbah Hasyim kasian sama saya mas’. Mbah Hasyim mengatakan, Le, kok
tugasmu bersih-bersih terus yo? Sing sabar yo? (Nak, kok tugasmu bersih-bersih
terus ya? Yang sabar ya?),” kata Gus Dur.
KH Maman dari Jamaah Akar Jati menceritakan pengalaman bersama mantan Presiden
RI ke 4 ini hingga meneteskan air mata saat menceritakan pengalaman dirinya
dengan Gus Dur “Beberapa hari sebelum meninggal, saya sempat bertemu dengan
beliau. Saat itu Gus Dur sempat mengisyaratkan kepada saya bahwa dalam waktu
dekat ini akan ada satu tokoh nasional yang sering sakit-sakitan bakal
meninggal. Dia menceritakan hal itu saat berada di kantor PB NU di Jakarta,”
papar Maman. Saat Gus Dur menyampaikan bakal adanya tokoh nasional yang
meninggal, Maman tidak menaruh curiga bahwa hal itu bakal terjadi pada Gus Dur
sendiri. Tapi, setelah Gus Dur meninggal pada malam tadi dia mulai tersadar
jika pernyataan yang disampaikan Gus Dur tersebut merupakan salah satu isyarat.